v Sisi Sosiologi
Kata “Konflik” berasal dari kata kerja Latin “configure” yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur. Begitu juga dengan Film yang saya amati, kekerasan yang dilakukan oleh FPI terhadap kelompok lain.
Sebelum kita lebih jauh menganalisis tentang cuplikan film konflik yang bertemakan “Kekerasan Atas Nama Agama” menurut kacamata sosiologi, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang beberapa teori konflik oleh para tokoh-tokoh sosiologi terkemuka agar lebih mudah kita memahami film tersebut.
- Lester F. Ward (1841-1913).
Ward menerima gagasan bahwa manusia berkembang dari bentuk yang lebih rendah ke statusnya yang seperti sekarang. Ia yakin bahwa masyarakat kuno ditandai oleh kesederhanaan dan kemiskinan moral, sedangkan masyarakat modern lebih kompleks, lebih bahagia dan mendapatkan kebebasan lebih besar. Menurutnya, sosiologi tidak hanya bertugas meneliti kehidupan sosial saja, tetapi harus pula menjadi lmu terapan. Sosiologi terapan ini meliputi kesadaran yang menggunakan pengetahuan ilmiah untuk mencapai kehidupan masyarakat yang lebih baik.
- William Graham Sumner (1840-1910).
Pada dasarnya ia menganut pemikiran survival of the fittest dalam memahami dunia sosial. Seperti Spencer , ia melihat manusia berjuang melawan lingkungannya dan yang paling kuatlah yang akan berhasil mempertahankan hidupnya. Sistem teoritis ini cocok dengan perkembangan kapitalisme karena menyediakan legitimasi teoritis bagi ketimpangan kekuasaan dan kekayaan yang ada.
- Charles Horton Cooley (1864-1929).
Ia mempelajari tentang aspek psikologi sosial dari kehidupan sosial. Cooley menekuni tentang kesadaran. Yang terkenal adalah konsep cermin diri (the looking glass self), yang menyatakan bahwa manusia memiliki kesadaran dan kesadaran itu terbentuk dalam interaksi sosial yang berlanjut. Selain itu adalah konsep kelompok primer, yakni kelompok yang hubungan antara anggotanya sangat akrab dan bertatap muka dalam arti saling mengenal kepribadian masing-masing. Baik Cooley maupun Mead menolak pandangan behavioristik tentang manusia, pandangan yang menyatakan manusia (individu) memberikan respon secara membabi buta dan tanpa kesadaran terhadap rangsangan dari luar. Ia menganjurkan sosiolog mencoba menempatkan diri di tempat aktor yang diteliti dengan menggunakan metode introspeksi simpatetik untuk menganalisis kesadaran itu. Sosiologi seharusnya memusatkan perhatian pada fenomena psikologi sosial seperti kesadaran, tindakan, dan interaksi.
- George Homans (1910-1989).
Lahirnya teori pertukaran dan ia menggunakan pendekatan behaviorisme paikologi Skinner. Ia menerbitkan buku Social Behavior: Its Elementary Forms. Menurutnya jantung sosiologi terletak dalam studi interaksi dan perilaku individual. Perhatian utamanya lebih tertuju pada pola-pola penguatan (reinforcement), sejarah imbalan (reward), dan biaya (cost) yang menyebabkan orang melakukan apa-apa yang mereka lakukan.
- Georg Simmel (1858–1918).
Sosiolog fungsionalis Jerman telah mencoba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang mendasar; berkaitan dengan sikap bekerja sama dalam masyarakat. Dalam hal ini Simmel mungkin salah seorang sosiolog pertama yang berusaha keras untuk mengkonstruksi sistem formal dalam sosiologi yang diabstraksikan dari sejarah dan detail pengalaman manusia. Analisisnya tentang efek ekonomi uang dalam perilaku manusia merupakan salah satu pekerjaannya yang penting.
- Max Weber (1864-1920).
Pemikir sosial Jerman, mungkin adalah orang yang di zamannya paling merasa tertantang oleh determinisme ekonomi Marx yang memandang segala sesuatu dari sisi politik ekonomi. Berbeda dengan Marx, Weber dalam karya-karyanya menyentuh secara luas ekonomi, sosiologi, politik, dan sejarah teori sosial. Weber menggabungkan berbagai spektrum daerah penelitiannya tersebut untuk membuktikan bahwa sebab-akibat dalam sejarah tak selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi belaka. Weber berhasil menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses pematangan kapitalisme di tengah masyarakat Eropa, sementara kapitalisme agak sulit mematangkan diri di dunia bagian timur oleh karena perbedaan religi dan filosofi hidup dengan yang di barat lebih dari pada sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas penguasaan modal sekelompok orang yang lebih kaya.
Setelah kita mengetahui beberapa teori konflik yang dikemukakan oleh beberapa ahli sosiologi di atas, bahwa cuplikan film kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok FPI terhadap kelompok-kelompok Islam liberal adalah merupakan sebuah pembuktian tentang beberapa teori konflik di atas yang menggambarkan sebuah sistem evolusi, dan reaksi radikal terhadap bentuk konflik dan dominasi. Bentuk-bentuk konflik yang ada dalam film tersebut adalah merupakan suatu konflik yang sulit untuk dihindari, artinya dalam suatu masyarakat tidak lepas dari konflik karena hal itu sebagai bentuk evolusi social (perubahan social). Sebagaimana yang dikatakan oleh Karl Marx bahwa konflik itu sulit untuk dihindari, yang bias kita lakukan adalah meminimalisir atau mengurangi eksistensi konflik tersebut sehingga tidak terlalu parah jika terjadi suatu konflik, kita juga sebenarnya sudah tahu kalau segala yang ada di dunia mengalami perubahan. Terutama yang saat ini kita pelajari yaitu perubahan pada kehidupan social.
Penyerangan yang dilakukan FPI (Front Pembela Islam) terhadap Jemaah Ahmadiyah pada tanggal 9 dan 15 Juli 2005, penangkapan Lea Eden, dan sekaligus penutupan Gereja di Bekasi adalah merupakan sebuah bentuk konflik pemaksaan sebagaimana yang dikatakan salah seorang yang pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Sosiologi beberapa Fakultas di Jerman yaitu Ralf Dahrendorf , beliau mengatakan bahwa “sub kelompok masyarakat sebagai element yang memiliki semangat ketertiban dan dibentuk oleh kepemimpinan laten di bawah kondisi-kondisi social tertentu, kepentingan-kepentingan itu diartikulasikan dalam kepentingan konkrit dan konflik klas, intensitas dan kekerasan konflik ini tergantung pada situasi dan kondisi tertentu”. Maksud dari Dahrendorf adalah suatu konflik terjadi pada masyarakat social itu pada kondisi-kondisi tertentu, (misalnya; berbuat sesuatu karena merasa dilecehkan oleh lawannya tersebut, karena ada orang yang melanggar maka kita akan melakukan sesuatu pada orang tersebut, dll). Perlu diketahui juga bahwa sekelompok masyarakat pasti mempunyai semangat untuk memperjuangkan hak-haknya, atau segala sesuatu yang di rasa penting bagi kelompoknya, seperti yang telah kita lihat cuplikan film pada kekerasan yang dilakukan oleh FPI terhadap sejumlah kelompok-kelompok yang dirasa menyesatkan ummat, khususnya bagi Jemaah Ahmadiyah.
Jika dilihat secara sosiologi, memang mempunyai saling keterkaitan antara Interaksi, Mobilitas, Stratifikasi, dan Perubahan Sosial sebagaimana yang telah di jelaskan dalam Tugas 1. Dari keempat bentuk di atas, yang lebih nampak dan lebih mudah saya amati pada film kekerasan atas nama agama adalah bentuk Interaksi Sosial dan Perubahan Sosial. Pertama, Dimana sangat terlihat suatu interaksi pada film tersebut yang di lakukan kelompok FPI terhadap kelompok lain, dan di antara pemicu terjadinya interaksi adalah karena adanya suatu perbedaan antara dua pihak atau lebih. FPI beranggapan bahwa Jemaah Ahmadiyah menyebarkan ajaran yang salah, begitu juga sebaliknya Jemaah Ahmadiyah mengatakan kalau ajaranya sudah benar. Sebagaimana dalam Tugas 1 dijelaskan, akibat atau dampak dari interaksi dapat berupa Negatif dan Positif, dan film yang telah kita amati adalah merupakan dampak Negatif pada masyarakat sossial yang berujung pada pengrusakan.
Kedua, perubahan social, sebagaimana yang telah di jelaskan dalam Tugas 1 yaitu, perubahan social adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat social untuk mengikuti perkembangan zaman, dan perlu diingat bahwa perubahan social ada dua macam yaitu direncanakan dan tidak direncanakan, konflik FPI menurut sosiologi adalah suatu proses evolusi (perubahan social) yang tidak di rencanakan. Nah inilah merupakan salah satu dampak dari perubahan social yang tidak direncanakan, muncul hal-hal yang tidak diinginkan oleh masyarakat (menimbulkan kerusakan).
v Sisi Agama
Saya tidak berkomentar banyak tentang kekerasan yang dilakukan oleh FPI terhadap kelompok-kelompok lain khususnya pada cuplikan film yang bertema Kekerasan Atas Nama Agama, kita tidak bisa menyalahkan juga tidak bisa membenarkan, karena tindakan yang dilakukan FPI belum tentu benar dan belum tentu salah. Masalahnya adalah “jika FPI dalam melakukan aksinya tidak menggunakan nama agama, bagaimana Jemaah Ahmadiyah tahu bahwa ajaran yang dibawa nya itu melanggar syari’at Islam, apalagi Ahmadiyah sudah dikecam oleh publik bahwa ajaran yang dibawa nya itu sesat?!” dan “jika Aksi yang dilakukan oleh FPI itu atas nama agama, apa malah itu tidak merusak citra agama Islam sendiri?, yang terkenal dengan toleransi terhadap perbedaan, dan apalagi berujung pada pengrusakan”. Untuk menyikapi hal ini saya lebih cenderung pada “ada benarnya yang dilakukan FPI”. Tetapi, untuk mengetahuinya lebih jelas maka saya akan sedikit mengkaji masalah tersebut berdasarkan yang saya ketahui.
Kebenaran dengan kesalahan, kebaikan dan keburukan, hitam dan putih akan selalu berlawanan. Mungkin sebagian orang lebih memilih diksi "berpasangan". Tapi menurut saya, kebenaran pasti akan berhadapan dan selalu bertentangan dan menentang kesalahan. Begitupun sebaliknya. Itu sudah sunnatullah. Menjadi sekular dan liberal dalam pemikiran maupun perbuatan yang menyebabkan dirinya terjerumus dalam cara pandang bukan Islam, bisa dipastikan sudah tersesat. Sekularisme jelas memisahkan antara agama dan kehidupan. Agama dan Tuhan hanya ada ketika seseorang berada di masjid atau tempat ibadah lain. Tapi Tuhan akan disingkirkan dalam aturan kehidupan. Maka, meski memiliki nama islami dan (suka) shalat, tapi ketika berpendapat dan berbuat malah menikam Islam, menohok Islam, dan menyerang Islam, ia sudah bisa dikatakan sekular; dan ini salah menurut Islam. Secara logika bahwa mereka yang menginginkan kebebasan bergama dan berkeyakinan adalah para pengusung propaganda liberalisme, dan menurut beberapa artikel yang pernah saya baca mengatakan yakni pembelaannya terhadap Ahmadiyah adalah kesalahan. Sebab, Ahmadiyah dalam Islam sudah dianggap sebagai aliran sesat, membela kesesatan tentu perbuatan yang salah menurut Islam.
Dalam kasus ini, jikalau Jemaah Ahmadiyah tidak membawa-bawa nama Islam, seperti agama lainnya, kaum muslimin tidak akan mengurus mereka dan mengingatkan mereka. Dibiarkan saja, yakni perlakuannya sama seperti kepada kaum Nasrani dan Yahudi dan pemeluk agama lain, tapi yang dilakukan oleh Jemaah ini kan menurut saya juga salah, yang mana dalam ajaran Islam sudah di jelaskan dalam Al-Qur’an kalau nabi yang terakhir adalah Nabi Muhammad SAW. Tapi mengapa Ahmadiyah mengatakan bahwa maslh ada Nabi?! Itu kan sudah melanggar syari’at Islam, tapi “mengapa ajaran yang benar-benar salah kok masih bilang ajaranya itu benar?!”. Mangkanya untuk menanggapi hal itu FPI (Front Pembela Islam) melakikan aksi kekerasan tersebut.
Penyebutan kekerasan atau bukan kekerasan itu relative, tergantung sudut pandang. Artinya, tidak semua kekerasan itu salah, juga tidak semua kedamaian itu benar, harus dilihat masalahnya terlebih dahulu. Apakah dalam peperangan kekerasan dianggap salah? Tidak selalu, menurut Amerika, aksi mereka yang menyerang Afghanistan , itu benar. Karena merasa harus menumpas Al-Qaida yang menurutnya bersembunyi di sana setelah menuduh gerakan tersebut menghancurkan WTC pada tragedi 9/11. Tapi anehnya, begitu milisi Taliban atau rakyat Afghanistan melakukan perlawanan, dinilai oleh media mereka melakukan serangan dan kekerasan. Begitu pun ketika Israel menyerang rakyat Palestina dan menjajah negaranya, opini dunia umumnya yang terdengar nyaring tidaklah mengecam Israel , tapi menganggap aksi mereka sebagai upaya mempertahankan diri. Sebaliknya, ketika Hamas dan rakyat Palestina menyerang Israel , media massa menyebutkannya sebagai upaya pemberontakan dan penyerangan, tentu dengan kekerasan. Padahal, menurut rakyat Palestina, itulah bentuk perjuangan mereka melawan Israel . Sama halnya ketika rakyat Indonesia bangkit mengangkat senjata melawan penjajah Belanda, penjajah Belanda menyebut rakyat Indonesia yang berjuang melawan penjajahannya sebagai kaum ekstrimis alias pemberontak. Padahal, rakyat Indonesia yang melakukan perlawanan, dan tentu saja dengan kekerasan karena menggunakan senjata menyebutnya sebagai bagian dari perjuangan melawan penjajah. Jadi dengan demikian, kekerasan dan bukan kekerasan itu relative, tergantung sudut pandang. Maka, sebagai seorang muslim, sudut pandang yang wajib dijadikan ukuran hanyalah ajaran Islam. Begitu juga apa yang dilakukan FPI terhadap kelompok lain, belum tentu benar dan juga belum tentu salah tergantung dari mana kita memandang. Maka untuk penyerangan oleh FPI yang terjadi di Mubarok Parung dan aksi penutupan Gereja di Bekasi serta penangkapan salah satu tokoh Ahmadiyah yaitu Lea Eden, saya sendiri menilai itu adalah “kekerasan” yang sangat “wajar”. Mengapa? Seperti kata pepatah: "tak ada asap jika tak ada api". Artinya, suatu perbuatan pasti ada pemicunya. Akibat pasti didahului dengan sebab. “Penyerangan” yang dilakukan massa FPI (karena setidaknya dari atribut yang dikenakan menunjukkan demikian) terhadap Jemaah Ahmadiyah. Jadi, sangat wajar jika terjadi demikian. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dalam ilmu Sosiologi, bahwa konflik yang terjadi dalam suatu masyarakat adalah suatu hal yang wajar sebagai proses perubahan social.
Dalam ajaran Islam, dikenal tiga tahapan dalam melaksanakan nahyi munkar" (mencegah kemungkaran). Dakwah itu memang harus dilakukan demikian. Bukan hanya menyeru kebaikan. Tapi sekaligus mencegah kemunkaran. Risiko menyeru kebaikan seperti yang dilakukan banyak ulama "ngepop" saat ini tak terlalu besar. Bahkan sebaliknya mendapat sambutan hangat. Namun, jangan sampai kita lupa bahwa nahyi munkar juga wajib dilakukan. Soal risiko, memang lebih berat ketimbang amar ma'ruf. Dakwah akan kehilangan kemuliaannya manakala nahyi munkarnya dihilangkan. Rasulullah SAW. bersabda: "Barangsiapa melihat kemunkaran, hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka hendaknya ia ubah dengan lisannya. Jika ia tidak mampu mengubah dengan lisannya, maka ubahlah dengan hati; dan ini adalah selemah-lemahnya iman." (HR Muslim)
Mengubah dengan "tangannya" bisa bermakna ia melakukannya secara fisik mencegah kemunkaran tsb., atau bisa juga sebagai penguasa dengan kebijakannya dan keputusannya. Memang benar, bahwa mengubah kemungkaran bisa dengan hati. Tapi itu selemah-lemahnya iman. Jika mampu melakukannya dengan "tangannya", kenapa tidak? Apalagi negara juga kedodoran dalam masalah hukum. Seringkali hukum bisa dibeli oleh mereka yang punya jabatan dan uang banyak. Sudah menjadi rahasia umum jika perjudian yang dilarang itu, baik oleh negara—yang katanya negara hukum seperti yang disebutkan Presiden SBY saat wawancara dengan para wartawan kemarin—maupun oleh agama, tetap saja aktivitas haram itu berlangsung asal ada setoran dari pemilik usaha kepada para bodyguard yang seringkali adalah para oknum dari aparat keamanan. Maka, sangat wajar dilakukan oleh massa , atau siapa pun ia, untuk mengambil tindakan "anarkis" merusak tempat perjudian dan tempat maksiat lainnya setelah aparat keamanan (termasuk pemerintah) yang diajak untuk menutup tempat tersebut tak mengamini seruannya.
Kaum muslimin harus membela kebenaran Islam, bukan membela seseorang atau kelompok. Apalagi seseorang tersebut, meskipun dianggap tokoh Islam tapi kelakuannya sama sekali tidak mencerminkan seorang muslim karena malah mensyiarkan kekufuran (sekularisme, pluralisme, demokrasi, liberalisme dan sejenisnya). Padahal, kepribadian Islam seseorang itu hanya bisa dinilai dari pemikiran dan perasaannya yang sesuai dengan Islam. Cinta dan benci atas dasar ukuran ajaran Islam, berani dan takut atas ketetapan yang diwajibkan Islam. Maka, 'menghajar' sesama kaum muslimin yang berjuang untuk Islam, sama saja dengan menghalangi dakwah Islam. Yang wajib dilawan adalah kekufuran. Mereka yang menyebarkan faham liberalisme, sekularisme, pluralisme adalah 'perpanjangan tangan' dari musuh-musuh Islam. Alamatkanlah rasa marah dan benci kepada mereka, bukan kepada kaum muslimin yang berjuang membela kebenaran Islam. Memang, perjuangan secara fisik bukanlah tujuan utama, mungkin saja itu tujuan akhir.
Saya tidak menganjurkan kekerasan, tapi kadang sikap "bebal" dan melawan Islam, harus dibungkam dengan tindakan fisik. Sekali-kali mungkin perlu. Karena yang terpenting kemuliaan Islam harus tetap terjaga dan selalu kita jaga. Hal itu sama seperti kita mengajarkan kebaikan kepada anak kita, tapi ternyata anak kita tidak mau melaksanakan shalat dan melawan kita, padahal ia sudah mulai memasuki usia baligh, maka memukul kaki anak kita demi menunjukkan ketegasan pelaksanaan hukum bukanlah kekerasan. Tapi bagian dari tanda cinta. Jika saudara seislam (FPI) melakukan itu kepada para Jemaah Ahmadiyah, seharusnya disikapi dengan lapang dada sebagai bentuk peduli dan cinta. Sebab, jika tidak peduli dan tidak cinta, buat apa mengingatkan, buat apa memberi pelajaran. Justru inilah yang diajarakan dalam Islam, bahwa agama bukanlah semata masalah individu, tapi tanggung jawab masyarakat dan negara. Jadi harus saling mengingatkan jika ada yang keliru. Berbeda dengan demokrasi yang menganggap agama adalah urusan individu. Namun perlu dikritisi juga, jika memang demokrasi sepakat bahwa agama adalah urusan individu, maka pemeluknya TIDAK BOLEH mengajak orang lain untuk masuk ke dalam agama atau keyakinannya. Mungkinkah? Sangat tidak mungkin. Jika sudah mengajak orang lain, maka wilayahnya bukan lagi individu, tapi masyarakat dan Negara dan itu aturannya lain lagi. Maka, kaum muslimin keras terhadap Ahmadiyah karena ajaran ini sudah sesat, harus diingatkan, diselesaikan persoalannya.
Pada awalnya saya melihat tindakan yang dilakukan oleh FPI dalam sebuah cuplikan film adalah salah, dengan melakukan tindakan-tindakan yang berujung pada pengrusakan. Dan hampir dari setiap mulut, kita bisa mendengar anggapan orang-orang di sekitar kita mengatakan kalau tindakan FPI adalah salah, karena di mata umum termasuk melanggar HAM dalam beragama, apalagi kita hidup dalam Negara demokrasi (Negara yang adil) Negara Indonesia. Setelah kita mempelajari dengan membandingkan pengetahuan yang saya ketahui, ternyata dapat saya tarik suatu kesimpulan bahwa yang dilakukan oleh FPI seperti pada film yang berjudul “Kekerasan Atas Nama Agama” adalah belum tentu benar dan juga belum tentu salah, tinggal bagaimana cara kita memandang, karena FPI melakukan suatu tindakan tersebut adalah disebabkan suatu sebab.
0 comments:
Post a Comment