Keadilan tak kunjung teratasi di negeri ini. Pengadilan menjadi terkesan hanya sekedar formalitas belaka. Lalu apa gunanya Pengadilan jika ketidakadilan itu malah tumbuh dari dalam gedung pengadilan?. Tidak sedikit hakim yang menerima suap untuk menutupi kesalahan yang seharusnya diselesaikan di meja hijau. Mereka yang menduduki jabatan justru menjadikan sasaran sebagai ladang untuk meraup keuntugan atau uang tambahan. Meskipun motif dalam pemberian uang kepada hakim adalah sekedar ucapan terimakasih. Namun, itu sudah menyalahi aturan bahwa pejabat tidak diperbolehkan menerima uang apapun dari masyarakat. Lebih parah lagi mereka para petinggi memanfaatkan sistem yang berada dalam wilayah kekuasaannya sebagai sarana memperkaya diri dengan uang haram, uang yang seharusnya tidak menjadi hak milik yang akhirnya disebut dengan korupsi. Ironisnya, permainan suap-menyuap dan korupsi sudah terjadi mulai tingkat daerah hingga tingkat pemerintah.
Tertangkapnya hakim Syarifudin, salah satu hakim Bengkulu yang akhirnya difonis bebas oleh pengadilan. Memang tidak semua hakim bermasalah dalam menjalanankan tugasnya. Namun, penemuan beberapa kasus di lapangan menjadi salah satu sampel mala praktek di dalam gedung pengadilan, entah itu karena hakim yang sengaja melakukan pelanggaran ataukah memang hakim yang bodoh, tidak mengetahui aturan main secara benar dalam perhakiman. Pertanyaan besar jika kebodohan yang dijadikan alasan.
Kasus terdahulu diusung oleh Gayus Tambunan sebagai tersangka korupsi, tidak tanggung-tanggung langsung uang pajak rakyat dilahap. Kemudian kasus masih hangat yang menjerat mantan bendahara partai Demokrat Nazarudin terkait suap pembangunan wisma atlet sea games. Mengatasi ini semua dimana peran konstitusi-konstitusi Negara ini? Mengapa menggilas dua orang itu saja tidak kunjung selesai?. Ketidakjelasan Konstitusi memunculkan dugaan-dugaan oleh masyarakat “apa mungkin terlalu banyak oknum yang terseret dalam kasus tersebut?! termasuk petinggi konstitusi, sehingga konstitusi yang seharusnya mempunyai wewenang untuk memberantas menjadi kerdil karena takut dia akan terseret juga”.
Tidak salah jika masyarakat timbul pesrsepsi seperti itu, bisa jadi benar. Orang-orang memiliki kedudukan dalam tataran pemerntah sudah secara otomatis mengikuti sistem. Apabila berbicara masalah sistem maka satu dengan yang lainnya akan saling terkait dan itu pasti karena peran sistem memang demikian. Artinya, bahwa jika salah satu oknum bermasalah dalam suatu sistem maka itu tidak lepas dari oknum lainnya terutama yang berada di bawah dan di atasnya.
“Untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dalam sistem perlu mencari sumber permasalahan tersebut. Sedangkan permasalahan di Indonesia ini bersumber dari Mahkamah Konstitusi” tandas salah satu Ketua Komisi Hukum Nasional Bapak J.E Sahetapi. Dimana beliau pernah berdialog dengan Almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) “bahwa selagi Mahkamah Agung belum bersih dari koruptor maka akan merembet kebawah. Jika air di hulu masih kotor maka selama itu pula akan mengalir ke bawah”.
Kondisi seperti saat ini sangat memprihatinkan, jajaran tingkat paling atas saja sudah banyak masalah lantas bagaimana dengan bawahan? Tidak mungkin bawahan membuat kebijakan sendiri. Bagaimanapun juga bawah tetap mengikuti atas. Namun, atasan tidak bisa lagi dipercaya. Kemana keadilan Negara ini? Apa perlu masyarakat yang akan mengadili? Perlukah masyarakat sendiri yang menentukan kebijakan?. Stmj.26/07/11
0 comments:
Post a Comment