a. Disiplin waktu
Waktu bagaikan pedang, barang siapa yang tidak pandai menggunakan pedang maka bisa jadi pedang akan mencelakai orang itu sendiri. Begitu juga dengan waktu, jika seseorang tidak pandai memanfaatkan waktu maka akan celaka oleh waktu itu sendiri. Demikian kurang lebih penafsiran kata pepatah yang tidak asing lagi kita dengar. Celaka karena waktu bukan berararti sama dengan celaknya ketika pedang mengenai tubuh, akan tetapi celak oleh waktu berate rugi dimana berdampak secara perlahan dan berkepanjangan selama kita tidak bisa memanfaatkan waktu.
Mudah mengatakan bahwa waktu itu sangat berharga, bahkan waktu itu adalah emas. Akan tetapi tidak sembarang orang dapat konsisten dengan waktu. Hanya tipe orang yang bekepribadian disiplin bisa menggunakan waktu sebaik mungkin. Meskipun demikian, disiplin waktu dapat ditanamkan pada setiap orang melalui kebiasaan. Apabila orang dididik dalam lingkungan yang sangat menghargai waktu serta disiplin maka dapat mencetak kepribadian yang disiplin pula. Namun sebaliknya, akan berbahaya jika seseorang tidak bisa menghargai waktu sebaik mungkin, karena persoalan waktu ini sangat penting jika kita amati.
Coba kita amati Negara seberang sana yaitu China. China adalah salah satu conth Negara yang termasuk Negara disiplin tinggi, entah itu karena sebab nenek moyang, karena daerah yang sangat mendukung atau mungkin karena makanan. Bahwa yang jelas China tidak meremehkan dalam urusan waktu. Mulai dari kepribadian masing-masing hindividu hingga pada tingkat organisasi. Baik pelajar maupun tidak pelajar orang china suka membaca buku untuk menambah wawasan, tidak heran jika orang china itu mayoritas cerdas dan kaya karena memang mereka dari kecil dididik menjadi orang yang disiplin. Setiap even-even yang diadakan oleh china selalu tepat waktu, seperti salah satu even yang pernah saya ikuti ketika memperingati 100 harinya almarhum Gus Dur yang diadakan di Hitech Mall Surabaya. Begitu takjubnya melihat pelaksanaan acara tersebut, para undangan yang mayoritas China tersebut ternyata maksimal datang 15 menit sebelum acara dimulai. Maka tidak salah Rasulallah sendiri bersabda “belajarlah sejauh mungkin walaupun ke negeri China”.
Suasana tersebut berbandig terbalik ketika saya mengikuti acara yang diadakan Nahdlatul Ulama (NU) salah satu organisasi terbesar di Indonesia. Acara bisa molor tidak sesuai dengan jadwal yang tercantum dalam undangan. Bahkan molornya waktu bukan dalam hitungan menit tetapi jam, kadang satu hingga dua jam molor dari jadwal. Siapakah yang salah dalam acara tersebut? Peserta undangan ataukah jadwal acara?. Bagaimanapun juga suatu kesalahan itu ada pada orang atau pelaksananya bukan pada teknis pelaksanaan.
Dengan budaya buruk yang mungkin sudah mendarah daging dalam tubuh NU.
Setidaknya saya berharap ada sedikit upaya dalam menerapkan disiplin waktu, yang mana mungkin itu dapat dimulai dari tokoh-tokoh yang mempunyai pamor dengan berbaris di depan dengan membawa bendera disiplin waktu. Yang insya alloh dapat diikuti oleh jajaran maupun masyarakat nahdliyin. Jangan sampai ketidak disiplinan itu malah muncul disebabkan oleh para tokoh sendiri namu sebaliknya.
b. Manajemen Waktu
Terlepas dari itu tak kalah pentingnya juga dalam kematangan memanage atau mengatur waktu. Mengatur dan menentukan teknis waktu ini sepertinya sepele namun sebenarnya sangat penting. Sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi jika mengesampingkan waktu. Contoh : pada moment besar NU kemarin di Gelora Bung Karno Jakarta. Bukannya moment HARLAH menjadi moment untuk menunjukan kebersamaan di mata public tetapi malah sebaliknya. “HARLAH NU ke 85 tahun mengabdi bangsa” tersebut malah menuai dua opini yang dapat dikatakan menurukan citra dari pada NU sendiri. Pertama, NU sebagai ormas terbesar di Indonesia saat ini tidak lagi utuh. Kedua, NU tidak lagi percaya dengan kepemimpinan Sby sebagai presiden RI.
Hal yang melatar belakangi munculnya dua opini tersebut yaitu ketika Pak Sby naik panggung untuk memberikan sambutan, tribun sebelah barat terlihat kosong yang sehingga disoroti media masa bahwa NU tidak lagi solid. Bahkan, ada yang mengatakan “masak kalah dengan supporter sepak bola?”. “masak kalah dengan HTI yang waktu itu juga pernah harlah di Gelora Bung Karno?”. Kalau saya menilai, hal ini bukan dikarenakan masyarakat NU kurang disiplin dalam menggunakan waktu, akan tetapi manajemen waktu yang kurang pas dengan situasi.
Coba kita cermati pada waktu itu dimana saya tahu bagaimana keadaan sebenarnya. Sekitar pukul 05.30 waktu Jakarta para peserta yang ingin menyaksikan perayaan harlah tiba di lokasi, yang terdiri dari berbagai daerah yang ada di seluruh Indonesia. Sekitar pukul 09.00 peserta pada berebut dan berdesakan untuk dapat memasuki stadiun, tetapi stadiun masih belum dibuka sehingga para peserta terpaksa berdesakan dan harus mundur menunggu pintu stadium dibuka. Setelah beberapa menit kemudian pintu terbuka dan peserta memenuhi hampir seluruh tribun hingga sampai pukul 12.30. karena mungkin mereka jenuh menunggu acara inti belum juga dimulai, peseta akhirnya anyak yang keluar entah itu untuk melaksanakan sholat dzuhur atau apa. Yang pada akhirnya sekitar pukul 13.30 pak Sby sambutan, tribun dalam keadaan kosong kecuali yang VIP. Dari kondisi seperti inilah media masa khususnya yang meliput acara tersebut kemudian menilai bahwa NU tidak lagi solid dan NU tidak lagi percaya dengan Sby.
Saya pikir dua opini tersebut muncul karena kurang matangnya dalam mengatur waktu. Mulai dari waktu perkiraan sebelum hingga selesai acara. Meskipun opini tersebut cukup mengecewakan bagi masyarakat Nahdliyin, namun tidak membuat masyarakat nahdliyin minder akan tetapi menjadikan sebuah pembelajaran yang sangat berharga bahwa menggunakan waktu yang semaksimal mungkin adalah sangat penting demi kelangsungan misi dan visi baik individu maupun secara organisasi. Stmj.27/07/11
0 comments:
Post a Comment