Friday 19 August 2011

Keberadaan IPNU Dalam Membentengi Generasi Bangsa

Posted by Admin 13:32:00, under ,,, | No comments


IPNU IPPNU
Pemuda sebagai bagian dari warga negara Indonesia berfungsi melaksanakan penyadaran, pemberdayaan dan pengembangan potensi dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini pemuda juga diharapkan dapat berperan aktif sebagai kekuatan moral, konstrol social, dan agen perubahan dalam segala aspek pembangunan nasional.
IPNU adalah organisasi yang bersifat keterpelajaran, kekaderan, kemasyarakatan, kebangsaan dan keagamaam merupakan bagian dari Generasi Muda (Pemuda). IPNU berfungsi sebagai wadah berhimpun pelajar, santri dan mahasiswa yang mempunyai tugas untuk mengembangkan potensi dan kreatifitas pelajar serta menjadi pusat pembelajaran bagi generasi muda. Sebagai pelaksana kebijakan NU pada segmen muda sekaligus mensosialisasikan nilai dan ajaran Ahlussunnah wal jamaah dalam kehidupan sehari-hari.
IPNU sebagai bagian dari generasi muda bangsa, juga mempunyai tugas turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan pembelajaran solutif alternatif serta mengembangkan bakat dan keterampilan dalam mencapai pelajar, santri dan mahasiswa yang berkarakter.
Sejak awal berdirinya, IPNU telah berhasil mengisi ruang kosong yang menjadi pemisah antara pelajar di sekolah umum yang identik dengan “sekulerisme” dan santri pondok pesantren yang identik dengan kentalnya “pendidikan keagamaan”. Dikotomi Pelajar dan santri ini dapat dileburkan dengan kehadiran IPNU yang turut berperan aktif dalam pengembangan dunia pendidikan di Indonesia. Dengan  memberikan nilai-nilai Islam ahlussunnah wal jamaah di sekolah umum dan pengetahuan umum pada pendidikan di pesantren. Sehingga IPNU mampu menyeimbangkan pengembangan potensi intelektual dan spiritual individu pada generasi muda.
Globalisasi dan Modernisasi telah menepiskan identitas kultural dan idelogi yang mempengaruhi nilai-nilai dan perilaku individu, seperti berkembangnya kecenderungan materialisme dan konsumerisme di kalangan generasi muda. Kondisi pelajar hari ini telah terjerumas pada jurang yang dalam, banyak pelajar yang menjadi pecandu narkoba, pornografi, tawuran antar pelajar menjadi sajian “hangat” setiap hari di media masa.
Disisi lain, munculnya organisasi-organisasi ideologi yang menarik pemuda atau pelajar pada doktrin-doktrin ekslusif sehingga menyebabkan pergeseran nilai ideologis pada diri pelajar hingga terjebak pada tindakan-tindakan kekerasan yang mengatasnamakan kebenaran dalam hal ini “terorisme”. Sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat. Bukan hanya itu saja, NII sebagai aliran yang menyimpang jauh dari Ahlussunah Waljama’ah melakukan gerakan - gerakan yang pada akhirnya mencuci otak para pelajar dengan paham yang membelokkan dari islam.
Hal ini mengharuskan peran aktif pemuda salah satunya Pimpinan Wilayah IPNU Jawa Timur sebagai organisasi yang concern terhadap pembinaan, pemberdayaan dan pengembangan potensi pelajar, santri dan mahasiswa untuk mengembalikan jatidiri pemuda Indonesia. Hal ini tentunya harus diiringi dengan berbagai langkah yang sistematik dan terarah. Disatu sisi, IPNU juga berusaha dalam meningkatkan mutu pengembangan SDM dan militansi pemuda, serta mengasah kecerdasan dan keterampilan dalam rangka membangun pemuda yang berkarakter menuju Indonesia bermartabat. Stmj.23/07/11

“RUNTUHNYA PERADILAN DI INDONESIA; Apa Perlu Masyarakat yang Mengadili?”

Posted by Admin 13:22:00, under ,,,, | No comments


Keadilan tak kunjung teratasi di negeri ini. Pengadilan menjadi terkesan hanya sekedar formalitas belaka. Lalu apa gunanya Pengadilan jika ketidakadilan itu malah tumbuh dari dalam gedung pengadilan?. Tidak sedikit hakim yang menerima suap untuk menutupi kesalahan yang seharusnya diselesaikan di  meja hijau. Mereka yang menduduki jabatan justru menjadikan sasaran sebagai ladang untuk meraup keuntugan atau uang tambahan. Meskipun motif dalam pemberian uang kepada hakim adalah sekedar ucapan terimakasih. Namun, itu sudah menyalahi aturan bahwa pejabat tidak diperbolehkan menerima uang apapun dari masyarakat. Lebih parah lagi mereka para petinggi memanfaatkan sistem yang berada dalam wilayah kekuasaannya sebagai sarana memperkaya diri dengan uang haram, uang yang seharusnya tidak menjadi hak milik yang akhirnya disebut dengan korupsi. Ironisnya, permainan suap-menyuap dan korupsi sudah terjadi mulai tingkat daerah hingga tingkat pemerintah.
Tertangkapnya hakim Syarifudin, salah satu hakim Bengkulu yang akhirnya difonis bebas oleh pengadilan. Memang tidak semua hakim bermasalah dalam menjalanankan tugasnya. Namun, penemuan beberapa kasus di lapangan menjadi salah satu sampel mala praktek di dalam gedung pengadilan, entah itu karena hakim yang sengaja melakukan pelanggaran ataukah memang hakim yang bodoh, tidak mengetahui aturan main secara benar dalam perhakiman. Pertanyaan besar jika kebodohan yang dijadikan alasan.
            Kasus terdahulu diusung oleh Gayus Tambunan sebagai tersangka korupsi, tidak tanggung-tanggung langsung uang pajak rakyat dilahap. Kemudian kasus masih hangat yang menjerat mantan bendahara partai Demokrat Nazarudin terkait suap pembangunan wisma atlet sea games. Mengatasi ini semua dimana peran konstitusi-konstitusi Negara ini? Mengapa menggilas dua orang itu saja tidak kunjung selesai?. Ketidakjelasan Konstitusi memunculkan dugaan-dugaan oleh masyarakat “apa mungkin terlalu banyak oknum yang terseret dalam kasus tersebut?! termasuk petinggi konstitusi, sehingga konstitusi yang seharusnya mempunyai wewenang untuk memberantas menjadi kerdil karena takut dia akan terseret juga”.
            Tidak salah jika masyarakat timbul pesrsepsi seperti itu, bisa jadi benar. Orang-orang memiliki kedudukan dalam tataran pemerntah sudah secara otomatis mengikuti sistem. Apabila berbicara masalah sistem maka satu dengan yang lainnya akan saling terkait dan itu pasti karena peran sistem memang demikian. Artinya, bahwa jika salah satu oknum bermasalah dalam suatu sistem maka itu tidak lepas dari oknum lainnya terutama yang berada di bawah dan di atasnya.
“Untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dalam sistem perlu mencari sumber permasalahan tersebut. Sedangkan permasalahan di Indonesia ini bersumber dari Mahkamah Konstitusi” tandas salah satu Ketua Komisi Hukum Nasional Bapak J.E Sahetapi. Dimana beliau pernah berdialog dengan Almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) “bahwa selagi Mahkamah Agung belum bersih dari koruptor maka akan merembet kebawah. Jika air di hulu masih kotor maka selama itu pula akan mengalir ke bawah”.
Kondisi seperti saat ini sangat memprihatinkan, jajaran tingkat paling atas saja sudah banyak masalah lantas bagaimana dengan bawahan? Tidak mungkin bawahan membuat kebijakan sendiri. Bagaimanapun juga bawah tetap mengikuti atas. Namun, atasan tidak bisa lagi dipercaya. Kemana keadilan Negara ini? Apa perlu masyarakat yang akan mengadili? Perlukah masyarakat sendiri yang menentukan kebijakan?. Stmj.26/07/11

“JANGAN AMBISI TERHADAP KEKUASAAN ATAU JABATAN”


Islam itu indah, demikian nama acara di salah satu stasiun televisi komersil. Tetapi keindahan itu akan terwujud jika kita mau melakukan berdasar petunjuk tekisnya. Hampir dalam semua segi kehidupan ini sudah tertera dalam islam baik tersurat maupn tersirat. Mulai dari hal paling kecil seperti bab makanan hingga hal yang palig besar yaitu Ibadah, urusan pribadi hingga urusan Negara dan mulai saat ini di dunia hingga sampai nanti di akhirat. Alangkah indah dan nikmatnya jika semua itu dapat kita lakukan sesuai dengan aturan yang sudah ada. Dari sini kita dapat mengambil suatu hikmah yang paling besar dari rutinitas orang islam disaat Negara kita Indonesia yang sedang mengalami krisis kepemimpinan, terutama dalam hal perebutan kekuasaan.
Sholat, itu adalah salah satu rutinitas yang wajib dilakukan orang islam sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Saat waktu sholat telah tiba umat muslim melaksanakan sholat dengan berjama’ah. Terdiri Imam (pemimpin sholat) dan makmum (para jama’ah). Untuk menjadi Imam sholat mempunyai kreteria yang harus dipenuhi antara lain Imam harus fasyih (bagus) ketika membaca ayat Al-qur’an, diutamakan yang lebih tua. Namun, ada keanehan saat memilih imam sholat ini yaitu meskipun ada orang yang membaca Al-qur’annya Fasyih akan tetapi tidak mau menjadi Imam “biar bapak saja yang menjadi Imam, monggo jenengan yang lebih tua”, “oh,, tidak nak, sampean aja yang menjadi Imam, suara dan ngajinnya kan bagus”. Akhirnya anak muda yang harus menjadi imam untuk berjama’ah.
Entah mengapa pada umumnya demikian ketika menjadi imam. Mereka berebut untuk tidak menjadi imam yang lebih melemparkan kepada orang yang sekiranya pantas. Hal ini berbanding terbalik ketika kekuasaan terbuka dan membutuhkan seorang pemimpin. Mereka para pejabat berlomba-lomba untuk dapat menempati kursi empuk, segala cara pun diakukannya. Bahkan orang yang sudah memiliki kedudukan pun mencoba utuk digulingkan sehingga fitnah dan ketidak jujuran semakin meracuni rohani masyarakat. Mulai dari lobi-melobi hingga suap menyuap yang pada akhirnya menuntut untuk ganti rugi atas banyaknya uang yang dikeluarkan, jalan korupsipun ditempuh.
            Hadits sendiri telah menegaskan tentang larangan untuk merebut kedudukan dan sangat menginginkannya. Yang artinya : “Abdurrahman bin Samurah r.a. berkata: Nabi SAW. Bersabda: Ya, Abdurrahman bin Samurah, engkau jangan melamar (meminta) jabatan (pimpinan) sebab jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu maka akan diserahkan kepadamu seratus persen, sebaiknya jika jabatan itu diserahan kepadamu bukan karena permintaanmu maka akan dibantu untuk mengatasinya” (Bukhori Muslim)  
            Banyak para pejabat yang lari dari tanggung jawab karena merasa tidak mampu menyelesaikan masalahnya. Akhirnya Negara sebelah yang menjadi tujuan pelariannya. Siapa yang tidak kenal Gayus dan Nazarudin, mereka merupakan potret seorang pejabat yang niat awal menjadi pejabat berbanding terbalik dengan hadits di atas. Mereka berangkat dari ambisi untuk memperoleh kedudukan sehingga seratus persen tanggung jawab itu ditanggungnya, baik pribadi maupun kelompok. Stmj.24/07/11

“TEKNOLOGI BESEBRANGAN DENGAN KONSEPSI FIQIH SIYASAH, PEMERINTAH?;Yang salah teknologi, fiqih siyasah atau pemerintah?”


Kontribusi teknologi dalam pembentukan karakter bangsa sangatlah besar. Entah itu karakter positif atau karakter negativ hampir dapat dipastikan secara rill melalui kecanggihan teknologi. Tidak ada kata sulit melalui teknologi ciptaan manusia ini. Karena memang tujuan teknologi diciptakan manusia untuk mempermudah manusia dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Perkembangan teknologi tidak dapat dipungkiri apalagi di hindari. Teknologi sudah menjadi rahasia publik yang seakan-akan wajib bagi setiap orang untuk menggunakan alat-alat serba canggih. Betapa tidak? Hampir dari peralatan-peralatan terkecil dalam dapur hingga alat kantor, alat rumah tangga hingga Negara sudah mengikuti tren zaman dengan alat teknlogi yang sehingga menuntut masyarakat untuk memanfaatkan aat tersebut. Bahkan sudah menjadi suatu persepsi dalam masyarakat “jaman gini masih gaptek (gagap teknologi)? basi”.
            Banyak manfaat yang didapat dengan adanya alat-alat serba canggih, pekerjaan lebih cepat dan efisien sehingga menghemat tenaga. Petani seharusnya memakan waktu dua hari ketika panen, dengan alat teknologi kini cukup memerlukan waktu sehari untuk menyelesaikan tugas puluhan hektar. Ingin pergi ke suatu tempat cukup pegang setir, nyalakan mesin, tancap gas dan puluhan kilo meter dapat terlewati dengan hitungan jam bahkan detik. Jarak tidak lagi menjadi penghalang dalam berkomunikasi, tinggal tekan beberapa tombol saja sudah dapat ngobrol dengan orang dibelahan dunia sekalipun.
            Namun, satu sisi teknologi juga memiliki dampak yang negativ. Hal ini mengingatkan saya pada kata-kata yang pernah terucap dari paman Band (paman Peater dalam film spederman) “seiring dengan kekuatan besar, akan ada tanggung jawab besar”. Hampir senada dengan “seiring banyaknya sisi positif, sering itu pula banyaknya sisi negatif dari teknologi”. Tentunya masyarakat juga harus melihat luar biasannya dampak negativ yang ditimbukan oleh teknologi. Bahkan saya berani mengatakan “teknlogi dapat membunuh karakter bangsa secara perlahan yang nantinya berujung pada ketragisan yang sangat luar biasa terhadap generasi bangsa”. Hal itu tidak akan terjadi selama diimbangi dengan penanaman moral terhadap masyarakat sedini mungkin sebagai benteng kepribadian masing-masing.
            Tayangan televisi hampir stiap hari menyuguhkan berita-berita kriminal akibat menggunakan teknologi. Mulai pembunuhan, perampokan, pemerkosaan hingga perlawanan terhadap aparat yang dilakukan oleh para teroris. Ironis lagi, bahwa sistem pendidikan yang mempunyai peran sangat penting dalam proses pembentukan pribadi yang unggul malah memberi contoh yang tidak layak lagi. Seperti kasus yang baru saja terjadi menjelang pendaftaran siswa baru baik tingkat SD, SLTA, SLTP maupun Perguruan Tinggi menuai kecurangan dalam seleksi calon murid. Mereka para siswa yang daftar melalui jejaring social internet atau sistem On Line malah merasa tertipu. Dampak negativ bukan hanya itu saja, tetapi pada sikologis anak. Reaserch terkahir Juli 2011 menemukan bahwa main game On Line dapat menimbulkan sifat individualis yang tidak suka dengan kebersamaan. Jika seluruh lapisan masyarakat tidak menyadari akan dampak negativ oleh teknologi. Maka secara perlahan teknologi akan meracuni otak-otak generasi bangsa.
            Melihat kondisi masyarakat dengan pengaruh teknologi saat ini sangat memprihatinkan. Dimanakah peran pemerintah sebagai pemegang kebijakan?. Memang diakui atau tidak jika masyarakat atau pemerintah tidak dapat mencegah berkembanganya teknologi demi mengantisispasi kerusakan moral yang lebih parah. Meskipun demikian, pemerintah masih tetap punya andil dalam pemanfaatan teknologi. Keadaan sepertinya sudah bertentangan dengan kosep pembentukan Negara. Dalam bukunya Muhammad Iqbal (2001) “Fiqih Siyasah” menjelaskan bahwa konsep pembentukan Negara Ideal ada lima, yang salah satunya adalah “Menghindari bahaya harus lebih diutamakan daripada meraih manfaat”. Membandingkan konsep Muhammad Iqbal dengan realitas penggunaan teknologi saat ini seakan-akan lebih mengutamakan manfaat daripada bahaya yang ditimbulkan teknologi. Manakah yang benar dan yang salah? Teknologi, Fiqih Siyasah atau Pemerintah? sebagai pemegang kebijakan. Stmj.25/07/11