Thursday 28 July 2011

“Berbicara Disiplin Waktu”

Posted by Admin 18:57:00, under ,,, | No comments


a.   Disiplin waktu
Waktu bagaikan pedang, barang siapa yang tidak pandai menggunakan pedang maka bisa jadi pedang akan mencelakai orang itu sendiri. Begitu juga dengan waktu, jika seseorang tidak pandai memanfaatkan waktu maka akan celaka oleh waktu itu sendiri. Demikian kurang lebih penafsiran kata pepatah yang tidak asing lagi kita dengar. Celaka karena waktu bukan berararti sama dengan celaknya ketika pedang mengenai tubuh, akan tetapi celak oleh waktu berate rugi dimana berdampak secara perlahan dan berkepanjangan selama kita tidak bisa memanfaatkan waktu.

          Mudah mengatakan bahwa waktu itu sangat berharga, bahkan waktu itu adalah emas. Akan tetapi tidak sembarang orang dapat konsisten dengan waktu. Hanya tipe orang yang bekepribadian disiplin bisa menggunakan waktu sebaik mungkin. Meskipun demikian, disiplin waktu dapat ditanamkan pada setiap orang melalui kebiasaan. Apabila orang dididik dalam lingkungan yang sangat menghargai waktu serta disiplin maka dapat mencetak kepribadian yang disiplin pula. Namun sebaliknya, akan berbahaya jika seseorang tidak bisa menghargai waktu sebaik mungkin, karena persoalan waktu ini sangat penting jika kita amati.

          Coba kita amati Negara seberang sana yaitu China. China adalah salah satu conth Negara yang termasuk Negara disiplin tinggi, entah itu karena sebab nenek moyang, karena daerah yang sangat mendukung atau mungkin karena makanan. Bahwa yang jelas China tidak meremehkan dalam urusan waktu. Mulai dari kepribadian masing-masing hindividu hingga pada tingkat organisasi. Baik pelajar maupun tidak pelajar orang china suka membaca buku untuk menambah wawasan, tidak heran jika orang china itu mayoritas cerdas dan kaya karena memang mereka dari kecil dididik menjadi orang yang disiplin. Setiap even-even yang diadakan oleh china selalu tepat waktu, seperti salah satu even yang pernah saya ikuti ketika memperingati 100 harinya almarhum Gus Dur yang diadakan di Hitech Mall Surabaya. Begitu takjubnya melihat pelaksanaan acara tersebut, para undangan yang mayoritas China tersebut ternyata maksimal datang 15 menit sebelum acara dimulai. Maka tidak salah Rasulallah sendiri bersabda “belajarlah sejauh mungkin walaupun ke negeri China”.

          Suasana tersebut berbandig terbalik ketika saya mengikuti acara yang diadakan Nahdlatul Ulama (NU) salah satu organisasi terbesar di Indonesia. Acara bisa molor tidak sesuai dengan jadwal yang tercantum dalam undangan. Bahkan molornya waktu bukan dalam hitungan menit tetapi jam, kadang satu hingga dua jam molor dari jadwal. Siapakah yang salah dalam acara tersebut? Peserta undangan ataukah jadwal acara?. Bagaimanapun juga suatu kesalahan itu ada pada orang atau pelaksananya bukan pada teknis pelaksanaan.

          Dengan budaya buruk yang mungkin sudah mendarah daging dalam tubuh NU.
Setidaknya saya berharap ada sedikit upaya dalam menerapkan disiplin waktu, yang mana mungkin itu dapat dimulai dari tokoh-tokoh yang mempunyai pamor dengan berbaris di depan dengan membawa bendera disiplin waktu. Yang insya alloh dapat diikuti oleh jajaran maupun masyarakat nahdliyin. Jangan sampai ketidak disiplinan itu malah muncul disebabkan oleh para tokoh sendiri namu sebaliknya.

b.   Manajemen Waktu     
Terlepas dari itu tak kalah pentingnya juga dalam kematangan memanage atau mengatur waktu. Mengatur dan menentukan teknis waktu ini sepertinya sepele namun sebenarnya sangat penting. Sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi jika mengesampingkan waktu. Contoh : pada moment besar NU kemarin di Gelora Bung Karno Jakarta. Bukannya moment HARLAH menjadi moment untuk menunjukan kebersamaan di mata public tetapi malah sebaliknya. “HARLAH NU ke 85 tahun mengabdi bangsa” tersebut malah menuai dua opini yang dapat dikatakan menurukan citra dari pada NU sendiri. Pertama, NU sebagai ormas terbesar di Indonesia saat ini tidak lagi utuh. Kedua, NU tidak lagi percaya dengan kepemimpinan Sby sebagai presiden RI.

          Hal yang melatar belakangi munculnya dua opini tersebut yaitu ketika Pak Sby naik panggung untuk memberikan sambutan, tribun sebelah barat terlihat kosong yang sehingga disoroti media masa bahwa NU tidak lagi solid. Bahkan, ada yang mengatakan “masak kalah dengan supporter sepak bola?”. “masak kalah dengan HTI yang waktu itu juga pernah harlah di Gelora Bung Karno?”. Kalau saya menilai, hal ini bukan dikarenakan masyarakat NU kurang disiplin dalam menggunakan waktu, akan tetapi manajemen waktu yang kurang pas dengan situasi.

Coba kita cermati pada waktu itu dimana saya tahu bagaimana keadaan sebenarnya. Sekitar pukul 05.30 waktu Jakarta para peserta yang ingin menyaksikan perayaan harlah tiba di lokasi, yang terdiri dari berbagai daerah yang ada di seluruh Indonesia. Sekitar pukul 09.00 peserta pada berebut dan berdesakan untuk dapat memasuki stadiun, tetapi stadiun masih belum dibuka sehingga para peserta terpaksa berdesakan dan harus mundur menunggu pintu stadium dibuka. Setelah beberapa menit kemudian pintu terbuka dan peserta memenuhi hampir seluruh tribun hingga sampai pukul 12.30. karena mungkin mereka jenuh menunggu acara inti belum juga dimulai, peseta akhirnya anyak yang keluar entah itu untuk melaksanakan sholat dzuhur atau apa. Yang pada akhirnya sekitar pukul 13.30 pak Sby sambutan, tribun dalam keadaan kosong kecuali yang VIP. Dari kondisi seperti inilah media masa khususnya yang meliput acara tersebut kemudian menilai bahwa NU tidak lagi solid dan NU tidak lagi percaya dengan Sby.

Saya pikir dua opini tersebut muncul karena kurang matangnya dalam mengatur waktu. Mulai dari waktu perkiraan sebelum hingga selesai acara. Meskipun opini tersebut cukup mengecewakan bagi masyarakat Nahdliyin, namun tidak membuat masyarakat nahdliyin minder akan tetapi menjadikan sebuah pembelajaran yang sangat berharga bahwa menggunakan waktu yang semaksimal mungkin adalah sangat penting demi kelangsungan misi dan visi baik individu maupun secara organisasi. Stmj.27/07/11

Sunday 10 July 2011

Perkembangan Konsep Teknologi Pendidikan Dan Revolusi Pendidikan

Posted by Admin 09:52:00, under ,,, | No comments


Sebenarnya dalam sejarah perkembangan Teknologi Pendidikan / Pembelajaran telah mengalami 3 (tiga) tahapan revolusi, Beckwith (1998: 4) menyebutnya Teknologi Masa Lampau, Teknologi Masa Sekarang dan Teknologi Masa Depan.
Teknologi Masa Lampau, dilukis sebagai teknologi yang menggunakan pendekatan peralatan (Tool Approach) yaitu pemakaian peralat audio visual (OHP, Film bingkai, Film dsb) dalam usaha membantu tenaga pendidik dalam memperbaiki pembelajarannya dalam kelas artinya revolusi pertama ini mempunyai fungsi utama “membantu tugas guru”.
Teknologi Masa Sekarang, dikenal sebagai teknologi yang menggunakan pendekatan sistematik (Systematic Approach) yaitu pengembangan dan penerapan proses-proses metodologis yang berlandaskan hokum-hukum atau aturan-aturan dalam usaha untuk memudahkan belajar. Sistematik berarti mengikuti urutan atau aturan. Artinya revolusi kedua terfokus pada usaha merancang, mengembangkan dan mengemplimentasikan dan menilai pembelajaran bermedia jadi system pembelajaran tersebut media dirancang untuk mampu mengajar dan membelajarkan tanpa menghadirkan guru sehintgga memerlukan langkah-langkah sistematik.
Teknologi Masa Lampau, menggambarkan pengunaan pendekatan yang bersifat sistematik(System approach) yang penciptaan keseluruhan merupakan satu kesatuan yang bersifat dinamis (dari keadaan sebelumnya yang merupakannkomponen-komponen yang lepas) dalamusaha untuk mempengaruhi terjadinya transformasi belajar. Harapan dalam teknologi ini dapat terciptanya persekolahan yang lebih baik, proses belajar yang lebih baik, transformasi yang lebih baik, komunikasi instraktif yang lebih baik dan dunia yang lebih baik.
Dari ulasan diatas, bagaimana kita semua dalam menanggapi perkembangan sekarang dalam kenyataannya ? Kalo boleh saya berpendapat: Kenyataan yang sebenarnya kalo kita melihat bahwa teknologi pendidikan / pengajaran masih berada dalam keterbatasan, inilah yang menjadi banyak menjadi kekecewaan pada kalangan teknolog pendidikan / pengajaran, karena dalam kondisi sekarang ini teknologi / pembelajaran masih belum mampu membantu mengatasi banyak persoalan dalam bidang pendidikan dan pembelajaran. Padahal kita semua sekarang sudah masuk pada era globalisasi yang perkembangannya semakin dasyat dirasakan dan mau tidak mau kita terseret untuk dapat mengikuti dengan keterbelengguan. Bagamana anda menanggapi permasalahan tersebut ?
Pada abad 21 ini dikenal dengan sebutan masa atau era Globalisasi atau juga disebut dengan era Informasi, secara sadar dapat dirasakan dampaknya oleh masyarakat, terutama dengan semakin banyaknya saluran informasi yang tersedia. Eric Ashby (1972) mengatakan bahwa telah terjadi revolusi ke-empat dalam bidang Pendidikan. Revolusi pertama; ketika orang tua menyerahkan anaknya untuk dididik oleh orang yang berilmu (guru), Revolusi ke-dua; telah digunakannya alat tulis untuk keperluan pendidikan, Revolusi ke-tiga; ditemukannya mesin cetak, sehingga materi dapat disajikan dalam bentuk buku dan Revolusi ke-empat; telah ditemukannya perangkat elektronik.Selanjutnya Eric Ashby memberikan 7 (tujuh)  ciri-ciri revolusi ke-empat antara lain:
  1. Berkembangnya pendidikan di luar kampus, sebagai bentuk pendidikan berkelanjutan.
  2. Mahasiswa mendapatkan akses lebih besar dari berbagai sumber.
  3. Perpustakaan sebagai pusat sumber belajar merupakan cirri dominan dalam kampus.
  4. Bangnan kampus yang berserak dengan kampus inti dipusat dan kampus satelit yang ada di tengah masyarakat.
  5. Tuntutan bagi mahasiswa untuk menguasai teknologi.
  6. Tumbuhnya profesi bari dalam bidang media dan teknologi
  7. Mahasiswa dituntut untuk belajar mandiri
Bukhopadhyay M (1995) juga berpendapat bahwa kecenderungan globalisasi memicu dunia pendidikan dari pendidikan tatap muka yang konvensional kearah pendidikan yang lebih terbuka. Pendapat ini mengajak kita pelaku pendidikan untuk tidak selalu dinina bobokan oleh kebiasaan lama yang sudah menyatu dirinya untuk dipakai sebagai senjata yang ampuh untuk menembus permasalahan pendidikan yang semakin komplek. Pendidikan yang menyenangkan, enjoy harus dapat kita lakukan untuk mengganti pola lama yang membosankan. Bishop G. (1989) meramalkan bahwa pendidika masa mendatang akan bersifat luwes (fklexible), terbuka, dan dapat diakses oleh siapapun. Mason R. (1994) berpendapat pendidikan masa mendatang akan lebih ditentukan oleh jaringan, bukan gedung sekolah. Sedangkan Tony Bates (1995) menyatakan bahwa teknologi dapat meningkatkan kualitas dan jangkauan bila digunakan secara bijak untuk pendiikan dan latihan dan mempunyai arti yang sangat penting bagi kesejahteraan ekonomi. Pendapat tersebut juga telah banyak member pandangan pada kita semua untuk mendapatkan pendidikan dengan cara tidak tergantung pada pendidikan / pembelajaran yang kaku akan tetapi kita semua akan mendapatkan dari jaringan Teknologi Telekomunikasi dan Informasi (TTI). Hal ini diperkuat dengan pendapat Romiszowiski & Lewis (1995) yang memprediksi bahwa penggunaan “Computer Mediated Communication (CMC)” atau komunikasi multimedia dengan computer dengan kemampuannya mengintegrasikan sumber informasi secara on-line memiliki peluang untuk dimanfaatkan dalampendidikan dan pelatihan mengingat CMC dapat menyampaikan pendidikan yang bersifat Sinkronus (dua arah) maupun asinkronus (searah).
Pandangan tersebut di atas kita dapat member prediksi sebagai anggapan bahwa dengan globalisasi maka pendidikan di masa mendatang akan lebih terfokus pada jaringan, terbuka dan dua arah, beragam, multidisipliner serta terkait pada produktivitas kerja saat itu juga dan kompetitif. Seharusnyalah kita selaku pemerhati pendidikan / pengajaran tanggap dan menyadari bahwa perluasan kesempatan pendidikan secara linier dan konvensional akan memakan waktu yang lama dan mahal, mungkin saja akan kurang responsive terhadap gejolak dinamika perubahan. Peluang-peluang yang ditawarkan oleh Teknologi Tinggi ini agar dapat menerobos hambatan-hambatan dan keterbatasan-keterbatasan system yang konvensional maka pemanfaatan teknologi hendaknya dilaksanakan secara bijak.
RUJUKAN:
AECT (Association for Educational Communication and Technology), 1994, The Definition of Educational Technology, Washington, DC.
Ashby, Eric, 1972, The Fourth Revolution: Instructional Technology in Higher Education,A Carnegie Commission on Higher Education Report, New YorkK McGraw-Hill Book Co.
Bates, Tony, 1995, Technology, Open Learning AND Distance Learning, London: Routledge.
Beckwith, Don, 1988, The Future of Educational Technology, Canadian Journal of Educational Communication.
Bishop, G., 1989, Alternative Strategies for Education, London: McMilan Publisher Ltd.
Ely, Donald P, 1997, Bahan Kuliah Fakultas Pascasarjana IKIP Jakarta.
Heinich, Robert, 1984, The Proper Study of Instructional Technology, Educational Communiction and Technology Journal.
Mason, R., 1994, Using Communiction Media in Open and Flexible Learning, London: Kogan Page Ltd.
Miarso, Yusufhadi, 2005, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Diterbitkan Atas Kerja Sama dengan Pustekkom DIKNAS, Kencana, Jakarta.
Mukhopadhyay, M., 1995, “Shiffting Paradigm in Open and Distance Education” Paper presented at IDLN Fist Symposium, Yokyakarta.
Prawiradilaga, Salma, Dewi dan Siregar, Eveline, 2004, Mozaik Teknologi Pendidikan, Diterbitkan atas kerjasama dengan Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Kencana, Jakarta.
Romiszowski, A. J., 1992, Computer Mediated Communication: A Selected Bibliography, Englewood Cliffs, NJ.: Educational Technology Publications.
 Sumber : http://data.tp.ac.id/artikel/25/Perkembangan+Konsep+Teknologi+Pendidikan+Dan+Revolusi++Pendidikan+.htm

Thursday 7 July 2011

TERM OF REFERENCE (TOR) LATIHAN PELATIH (LATPEL) PP. IPNU &PW. IPNU JAWA TIMUR TAHUN 2011

Posted by Admin 19:49:00, under ,,, | No comments

          Kaderisasi berarti proses, cara, perbuatan mendidik atau membentuk seseorang menjadi kader. Kader merupakan orang yang diharapkan akan memegang peranan penting di dalam pemerintahan, partai, ormas, dan sebagainya. Dalam kehidupan berorganisasi, kaderisasi ini bertujuan untuk membentuk kader yang bisa menggerakkan organisasi, himpunan, ataupun kelompok dengan kepentingan masing-masing agar dapat terus berkembang.

          Mengapa harus ada kaderisasi?, Pertanyaan semacam ini sering mengemuka dalam sebuah organisasi. Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus di fahami bersama bahwa setiap sejarah membutuhkan generasi yang dapat “berbuat” untuk zamannya; dalam abad besar, tantangannya pasti besar dan dengan demikian membutuhkan generasi yang besar. Tapi barangkali itu terlalu muluk dan sok filosofis. Kita tengok dengan teropong yang lebih dekat.

         Dalam ilmu politik, dikenal tiga domain yang menyangga setiap bangsa, yaitu state (negara), capital (modal/pasar) dan civil society (masyarakat sipil). Dalam konfigurasi itu negara maupun pasar potensial melakukan tindakan yang merugikan masyarakat. Berbagai kebijakan dan orientasinya sering tidak memihak pada rakyat. Orientasi pasar dan politik yang terlalu tinggi tidak jarang menggusur kepentingan rakyat banyak, terutama rakyat kecil. Celakanya lagi, apabila dua kekuatan itu berkolaborasi. Rakyat pasti dirugikan. Ketidakadilan, kemiskinan, penggusuran adalah buah yang selalu dipetik dari “perkawinan” keduanya.

        Nah, bagaimana agar itu tidak terjadi? Dibutuhkan penyeimbang dan pengontrol. Tidak lain, itu adalah kekuatan masyarakat sipil (civil society). Untuk melakukan tugas sejarah itu, masyarakat harus “bergerak”. Gerakan kontrol, advokasi, dan penjagaan keseimbangan yang efektif dan berkualitas hanya bisa dilakukan oleh masyarakat sipil yang kuat. Karenanya penguatan civil society adalah keniscayaan yang tidak dapat ditunda.

        Banyak jalan untuk menunaikan “jihad peradaban” ini. Salah satunya melalui organisasi keagamaan dan kemasyarakatan. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) yang sejak lahirnya memang didesain sebagai “jamiyyah” civil society, memegang peran penting dalam proses ini. Sementara untuk menjamin kebersinambungan estavet, tentu NU butuh organisasi yang bergerak dalam pengkaderan. Tidak lain, yang dimaksud adalah IPNU.

         Di sinilah IPNU “bertugas”. Sebagai investasi civil society masa depan IPNU lahir sebagai organisasi kader. Salah satu ciri penting organisasi kader adalah penekanannya pada aspek pengkaderan. Dengan kata lain, IPNU bertugas mencetak “generasi besar” yang siap melakukan pertempuran di medan juang masa depan yang kian ganas. “Perlawanan” untuk menciptakan kondisi ideal (ideal future) dipastikan akan semakin menantang. Karenanya dibutuhkan gerakan yang ideal. Untuk melakukan gerakan yang ideal dibutuhkan kader ideal. Nah, di sinilah proses kaderisasi menemukan momentum, tentu dengan sistem dan manajemen yang bekualitas dan terencana serta konsep yang paradigmatik.

        Berpijak dari berbagai hal tersebut di atas, Pimpinan Wilayah IPNU Jawa Timur sebagai salah satu garda terdepan kaderisasi NU yang mempunyai 41 Pimpinan Cabang, 650 Pimpinan Anak Cabang serta lebih dari 8000 Pimpinan Ranting dan Komisariat mempunyai mandat besar untuk mencetak kader-kader potensial yang akan meneruskan dan mengemban amanat di Nahdlatul Ulama dan juga Bangsa Indonesia. Untuk PP. IPNU bersama dengan Pimpinan Wilayah IPNU Jawa Timurmenyelanggarakan Latihan Pelatih yang di khususkan untuk mencetak kader pelatih yang handal, cerdas dan berkualitas.